FORMULASI PROYEK
Formulasi kebijakan sebagai bagian dalam proses
kebijakan publik merupakan tahap yang paling krusial karena implementasi dan
evaluasi kebijakan hanya dapat dilaksanakan apabila tahap formulasi kebijakan
telah selesai, disamping itu kegagalan suatu kebijakan atau program dalam
mencapai tujuan-tujuannya sebagian besar bersumber pada ketidaksempurnaan pengolaan
tahap formulasi (Wibawa; 1994, 2).
Tjokroamidjojo (Islamy; 1991, 24) mengatakan bahwa folicy formulation sama dengan pembentukan kebijakan merupakan
serangkaian tindakan pemilihan berbagai alternatif yang dilakukan secara terus
menerus dan tidak pernah selesai, dalam hal ini didalamnya termasuk pembuatan
keputusan. Lebih jauh tentang proses pembuatan kebijakan negara (publik), Udoji (Wahab ; 2001, 17) merumuskan bahwa
pembuatan kebijakan negara sebagai
“The whole
process of articulating and defining problems, formulating possible solutions
into political demands, channelling those demands into the political systems,
seeking sanctions or legitimation of the preferred course of action,
legitimation and implementation, monitoring and review (feedback)”.
Tahap-tahap tersebut mencerminkan aktivitas yang terus
berlangsung yang terjadi sepanjang waktu. Setiap tahap berhubungan dengan tahap
berikutnya, dan tahap terakhir (penilaian kebijakan) dikaitkan dengan
tahap pertama (penyusunan agenda) atau tahap ditengah dalam aktivitas
yang tidak linear.
Formulasi kebijakan sebagai suatu proses menurut
Winarno (1989, 53), dapat dipandang dalam 2 (dua) macam kegiatan. Kegiatan
pertama adalah memutuskan secara umum apa yang apa yang harus dilakukan atau
dengan kata lain perumusan diarahkan untuk memperoleh kesepakatan tentang suatu
alternatif kebijakan yang dipilih, suatu keputusan yang menyetujui adalah hasil
dari proses seluruhnya. Sedangkan kegiatan selanjutnya diarahkan pada bagaimana keputusan-keputusan kebijakan dibuat, dalam
hal ini suatu keputusan kebijakan mencakup tindakan oleh seseorang pejabat atau
lembaga resmi untuk menyetujui, mengubah atau menolak suatu alternatif
kebijakan yang dipilih. Sejalan dengan pendapat Winarno, maka Islamy (1991, 77)
membagi proses formulasi kebijakan kedalam
tahap perumusan masalah
kebijakan, penyusunan agenda pemerintah, perumusan usulan kebijakan, pengesahan
kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan penilaian kebijakan.
a.
Perumusan
masalah kebijakan.
Pada prinsipnya, walaupun suatu peristiwa, keadaan dan
situasi tertentu dapat menimbulkan satu atau beberapa problem, tetapi agar hal
itu menjadi masalah publik tidak hanya tergantung dari dimensi obyektifnya
saja, tetapi juga secara subyektif, baik oleh masyarakat maupun para pembuat
keputusan, dipandang sebagai suatu masalah yang patut dipecahkan atau dicarikan
jalan keluarnya. Oleh karena itu, suatu problem, untuk bisa berubah menjadi
problem umum tidak hanya cukup dihayati oleh banyak orang sebagai sesuatu
masalah yang perlu segera diatasi, tetapi masyarakat perlu memiliki political will untuk memperjuangkannya
dan yang lebih penting lagi, problem tersebut ditanggapi positif oleh pembuat
kebijakan dan mereka bersedia memperjuangkan problem umum itu menjadi problem
kebijakan, memasukannya kedalam agenda pemerintah dan mengusahakannya menjadi
kebijakan publik, maka langkah pertama yang harus dilakukan oleh setiap pembuat
kebijakan adalah mengidentifikasikan problem yang akan dipecahkan kemudian
membuat perumusan yang sejelas-jelasnya terhadap problem tersebut. Kegiatan ini merupakan upaya untuk menentukan
identitas masalah kebijakan dengan terlebih dahulu mengerti dan memahami sifat
dari masalah tersebut sehingga akan mempermudah dalam menentukan sifat proses
perumusan kebijakan.
b.
Penyusunan
agenda pemerintah.
Oleh karena masalah publik yang telah diidentifikasi
begitu banyak jumlahnya, maka para pembuat keputusan akan memilih dan
menentukan problem mana yang seharusnya memperoleh prioritas utama untuk
diperhatikan secara serius dan aktif, sehingga biasanya agenda pemerintah ini
mempunyai sifat yang khas, lebih kongkrit
dan terbatas jumlahnya.
Anderson (1966, 57-59) menyebutkan beberapa faktor
yang dapat menyebabkan problem-problem umum dapat masuk ke dalam agenda
pemerintah, yakni :
·
Apabila
terdapat ancaman terhadap keseimbangan antar kelompok (group equlibirium), dimana kelompok-kelompok tersebut mengadakan
reaksi dan menuntut tindakan pemerintah untuk mengambil prakarsa guna mengatasi
ketidakseimbangan tersebut.
·
Kepemimpinan
politik dapat pula menjadi suatu faktor yang penting dalam penyusunan agenda
pemerintah, manakala para pemimpin politik didorong atas pertimbangan
keuntungan politik atau keterlibatannya untuk memperhatikan kepentingan umum,
sehingga mereka selalu memperhatikan problem publik, menyebarluaskan dan
mengusulkan usaha pemecahannya.
·
Timbulnya
krisis atau peristiwa yang luar biasa dan mendapatkan perhatian besar dari
masyarakat, sehingga memaksa para pembuat keputusan untuk memperhatikan secara
seksama terhadap peristiwa atau krisis tersebut, dengan memasukkan ke dalam
agenda pemerintah.
·
Adanya
gerakan-gerakan protes termasuk tindakan kekerasan, sehingga menarik perhatian
para pembuat keputusan untuk memasukkannya ke dalam agenda pemerintah.
·
Masalah-masalah
khusus atau isyu-isyu politis yang timbul dalam masyarakat, sehingga menarik
perhatian media massa dan menjadikannya sebagai sorotan. Hal ini dapat
menyebabkan masalah atau isyu tersebut semakin menonjol sehingga lebih banyak
lagi perhatian masyarakat dan para pembuat kebijakan tertuju pada masalah atau
isyu tersebut.
Sedangkan Jones (1977, 32) mengajukan suatu pedoman
untuk meneliti atau mempelajari tentang syarat-syarat suatu problem publik
dapat masuk ke dalam agenda pemerintah, yakni :
·
Dilihat
dari peristiwanya, yang meliputi ruang lingkup, persepsi masyarakat, definisi
dan intensitas orang-orang yang dipengaruhi oleh peristiwa tersebut.
·
Organisasi
kelompok, yang meliputi luasnya anggota kelompok, struktur kelompok dan
mekanisme kepemimpinan.
·
Cara
mencapai kekuasaan, yang terdiri atas perwakilan, empati dan dukungan.
·
Proses
kebijaksanaan, yang meliputi struktur, kepekaan dan kepemimpinan.
Selanjutnya, setelah problem publik tersebut
dimasukkan ke dalam agenda pemerintah, maka para pembuat keputusan memprosesnya
kedalam fase-fase, yang oleh Jones (ibid) dibagi kedalam 4 (empat) tahap, yakni
: (1) problem definition agenda yaitu
hal-hal (problem) yang memperoleh penelitian dan perumusan secara aktif dan
serius dari para pembuat keputusan ; (2) proposal
agenda, yaitu hal-hal (problem) yang telah mencapai tingkat diusulkan,
dimana telah terjadi perubahan fase merumuskan masalah kedalam fase memecahkan
masalah ; (3) bargaining agenda,
yaitu usulan-usulan kebijakan tadi ditawarkan untuk memperoleh dukungan secara
aktif dan serius ; dan (4) continuing agenda, yaitu hal-hal
(problem) yang didiskusikan dan dinilia secara terus menerus.
c.
Perumusan
usulan kebijakan
Tahap ini merupakan kegiatan menyusun dan
mengembangkan serangkaian tindakan yang perlu untuk memecahkan masalah,
meliputi :
·
Identifikasi
alternatif dilakukan untuk kepentingan pemecahan masalah. Terhadap problem yang
hampir sama atau mirip, dapat saja dipakai alternatif kebijakan yang telah
pernah dipilih, akan tetapi terhadap problem yang sifatnya baru maka para
pembuat kebijakan dituntut untuk secara kreatif menemukan dan mengidentifikasi
alternatif kebijakan baru sehingga masing-masing alternatif jelas
karakteristiknya, sebab pemberian identifikasi yang benar dan jelas pada setiap
alternatif kebijakan akan mempermudah proses perumusan alternatif.
·
Mendefinisikan
dan merumuskan alternatif, bertujuan agar masing-masing alternatif yang telah
dikumpulkan oleh pembuat kebijakan itu jelas pengertiannya, sebab semakin jelas
alternatif itu diberi pengertian, maka akan semakin mudah pembuat kebijakan
menilai dan mempertimbangkan aspek positif dan negatif dari masing-masing
alternatif tersebut.
·
Menilai
alternatif, yakni kegiatan pemberian bobot pada setiap alternatif, sehingga
jelas bahwa setiap alternatif mempunyai nilai bobot kebaikan dan kekurangannya
masing-masing, sehingga dengan mengetahui bobot yang dimiliki oleh
masing-masing alternatif maka para pembuat keputusan dapat memutuskan
alternatif mana yang lebih memungkinkan untuk dilaksanakan/dipakai. Untuk dapat
melakukan penilaian terhadap berbagai alternatif dengan baik, maka dibutuhkan
kriteria tertentu serta informasi yang relevan.
·
Memilih
alternatif yang memuaskan. Proses pemilihan alternatif yang memuaskan atau yang
paling memungkinkan untuk dilaksanakan barulah dapat dilakukan setelah pembuat
kebijakan berhasil dalam melakukan penilaian terhadap alternatif kebijakan.
Suatu alternatif yang telah dipilih secara memuaskan akan menjadi suatu usulan
kebijakan yang telah diantisipasi untuk dapat dilaksanakan dan memberikan
dampak positif. Tahap pemilihan alternatif yang memuaskan selalu bersifat
obyektif dan subyektif, dalam artian bahwa pembuat kebijakan akan menilai
alternatif kebijakan sesuai dengan kemampuan rasio yang dimilikinya, dengan
didasarkan pada pertimbangan terhadap kepentingan pihak-pihak yang akan
memperoleh pengaruh sebagai konsekwensi dari pilihannya.
d.
Pengesahan
kebijakan
Sebagai suatu proses kolektif, pengesahan kebijakan
merupakan proses penyesuaian dan penerimaan secara bersama terhadap prinsip-prinsip
yang diakui dan diterima (comforming to
recognized principles or accepted standards). Landasan utama untuk
melakukan pengesahan adalah variabel-variabel sosial seperti sistem nilai
masyarakat, ideologi negara, sistem politik dan sebagainya.
Proses pengesahan suatu kebijakan biasanya diawali
dengan kegiatan persuasion dan bargaining (Andersson; 1966, 80). Persuasion diartikan sebagai
“Usaha-usaha untuk meyakinkan orang lain tentang sesuatu kebenaran atau nilai
kedudukan seseorang, sehingga mereka mau menerimanya sebagai milik sendiri”.
Sedangkan Bergaining diterjemahkan
sebagai “Suatu proses dimana dua orang atau lebih yang mempunyai kekuasaan atau
otoritas mengatur/menyesuaikan setidak-tidaknya sebagian tujuan-tujuan yang
tidak mereka sepakati agar dapat merumuskan serangkaian tindakan yang dapat
diterima bersama meskipun itu tidak terlalu ideal bagi mereka”. Yang termasuk
ke dalam kategori bargaining adalah perjanjian (negotiation), saling memberi dan menerima (take and give) dan kompromi (compromise).
Baik persuasion maupun bargaining, kedua-duanya saling melengkapi sehingga
penerapan kedua kegiatan atau proses tersebut akan dapat memperlancar proses
pengesahan kebijakan.
Sebagai suatu proses, maka
tahap formulasi kebijakan terdiri atas beberapa komponen (unsur) yang saling berhubungan secara respirokal sehingga membentuk
pola sistemik berupa input – proses –
output – feedback. Menurut Wibawa (1994, 13), komponen (unsur) yang terdapat dalam proses
formulasi kebijakan adalah :
a.
Tindakan.
Tindakan kebijakan adalah tindakan disengaja yang
selalu dilakukan secara terorganisasi dan berulang (ajeg) guna membentuk pola-pola tindakan tertentu, sehingga pada
akhirnya akan menciptakan norma-norma bertindak bagi sistem kebijakan. Jika
pada tahap awal tumbuhnya sistem kebijakan dan tujuan dari sistem itu
ditetapkan terlebih dahulu untuk menentukan tindakan apa yang akan dilakukan
guna mencapai tujuan tersebut, maka pada giliran berikutnya, ketika sistem
telah berjalan, norma yang terbentuk oleh pola tindakan tadi akan mengubah atau
setidaknya mempengaruhi tujuan sistem.
b.
Aktor.
Orang atau pelaku yang terlibat dalam proses formulasi
kebijakan akan memberikan dukungan maupun tuntutan serta menjadi sasaran dari
kebijakan yang dihasilkan oleh sistem kebijakan. Aktor yang paling dominan
dalam tahap perumusan kebijakan dengan tuntutan yang bersifat intern, dalam
artian mempunyai kekuasaan atau wewenang untuk menentukan isi dan memberikan
legitimasi terhadap rumusan kebijakan tersebut, disebut pembuat kebijakan (policy maker). Sementara itu, aktor yang
mempunyai kualifikasi atau karakteristik lain dengan tuntutan ekstern, dikenal
sebagai kelompok-kelompok kepentingan, partai politik, pimpinan elit profesi
dan lain-lain. Untuk dapat tetap bertahan bermain di dalam sistem tersebut,
mereka harus memilik komitmen terhadap aturan main, yang pada mulanya
dirumuskan secara bersama-sama oleh semua aktor. Pada tataran ini komitmen para
aktor akan menjadikan menjadikan mereka mematuhi aturan atau norma bersama.
Selain itu, kepatuhan terhadap norma ini bahkan menjadi keharusan, karena
diasumsikan bahwa pencapaian tujuan sistem akan terwujud jika semua aktor
mematuhi norma bersama.
c.
Orientasi
nilai.
Proses formulasi kebijakan pada prinsipnya berhubungan
dengan proses mengidentifikasi dan menganalisis nilai-nilai yang beraneka ragam
kemudian menentukan nilai-nilai yang relevan dengan kepentingan masyarakat,
sehingga setiap kebijakan yang dihasilkan akan mempunyai implikasi nilai, baik
secara implisit maupun eksplisit. Oleh karena itu, aktor-aktor yang berperan
dalam formulasi kebijakan tidak hanya berfungsi menciptakan adanya keseimbangan
diantara kepentingan-kepentingan yang berbeda (muddling through or balancing interests), tetapi juga harus
berfungsi sebagai penilai (valuer),
yakni mampu menciptakan adanya nilai yang dapat disepakati bersama yang
didasarkan pada penilaian-penilaian rasional (rational judgements) guna pencapaian hasil yang maksimal.
Tahap formulasi kebijakan sebagai suatu proses yang
dilakukan secara ajeg dengan melibatkan para stakeholders (aktor) guna menghasilkan serangkaian tindakan dalam memecahkan
problem publik melalui identifikasi dan analisis alternatif, tidak terlepas
dari nilai-nilai yang mempengaruhi tindakan para aktor dalam proses tersebut.
Anderson (1966), Winarno (1989, 16) dan Wibawa (1994, 21) mengemukakan bahwa
nilai-nilai (ukuran) yang mempengaruhi tindakan dari para pembuat keputusan
dalam proses formulasi kebijakan dapat dibagi kedalam beberapa kategori, yakni
:
a.
Nilai-nilai
politik, dimana keputusan dibuat atas dasar kepentingan politik dari partai
politik atau kelompok kepentingan tertentu.
Seperti umumnya pada paradigma kritis dalam kebijakan
publik, maka dalam fase formulasi kebijakan publik, realitas politik yang
melingkupi proses pembuatan kebijakan publik itu tidak boleh dilepaskan dalam
fokus kajiannya, sebab apabila kita melepaskan kenyataan politik itu dari
proses pembuatan kebijakan publik, maka kebijakan yang dihasilkan akan miskin
aspek lapangannya sementara kebijakan publik itu sendiri tidak pernah steril
dari aspek politik. Dalam konteks ini, maka proses formulasi kebijakan dipahami
sebagai sebuah proses pengambilan keputusan yang sangat ditentukan oleh factor
kekuasaan, dimana sumber-sumber kekuasaan itu berasal dari strata social,
birokrasi, akademis, profesionalisme, kekuatan modal dan lain sebagainya.
b.
Nilai-nilai
organisasi, dalam hal ini keputusan-keputusan dibuat atas dasar nilai-nilai
yang dianut organisasi, seperti balas jasa (rewards)
dan sanksi (sanction) yang dapat mempengaruhi
anggota organisasi untuk menerima dan melaksanakannya. Pada tataran ini,
tindakan-tindakan yang dilakukan oleh para stakeholders lebih dipengaruhi serta
dimotivasi oleh kepentingan dan perilaku kelompok, sehingga pada gilirannya,
produk-produk kebijakan yang dihasilkan lebih mengakomodasi kepentingan
organisasi mereka ketimbang kepentingan publik secara keseluruhan. Oleh karena
itu, diperlukan adanya sebuah perangkat sistemik yang mampu mengeliminir
kecenderungan tersebut.
c.
Nilai-nilai
pribadi, dimana seringkali keputusan dibuat atas dasar nilai-nilai pribadi yang
dianut oleh pribadi pembuat keputusan untuk mempertahankan status quo,
reputasi, kekayaan dan sebagainya.
Proses formulasi kebijakan dalam konteks ini lebih
dipahami sebagai suatu proses yang terfokus pada aspek emosi manusia,
personalitas, motivasi dan hubungan interpersonal. Fokus dari pandangan ini
adalah siapa mendapatkan nilai apa, kappa ia mendapatkan nilai tersebut dan
bagaimana ia mengaktualisasikan nilai yang telah dianutnya.
d.
Nilai-nilai
kebijakan, dalam hal ini keputusan dibuat atas dasar persepsi pembuat kebijakan
tentang kepentingan publik atau pembuatan kebijakan yang secara moral dan dapat
dipertanggungjawabkan. Termasuk dalam kategori ini adalah nilai moral,
keadilan, kemerdekaan, kebebasan, kebersamaan dan lain-lain. Pandangan iniu
melihat bagaimana pembuat kebijakan sebagai personal mampu merespon stimulasi
dari lingkungannya. Artinya, di sini, akan banyak terlihaty tentang bagaimana
seorang pembuat kebijakan mengenali masalah, bagaimana mereka menggunakan
informasi yang mereka miliki, bagaimana mereka menentrukan pilihan dari
berbagai alternatif yang ada, bagaimana mereka mempersepsi realitas yang
ditemui, bagaimana informasi diproses dan bagaimana informasi dikomunikasikan
dalam organisasi.
e.
Nilai-nilai
ideologi, dimana nilai ideologi seperti misalnya nasionalisme dapat menjadi
landasan pembuatan kebijakan, baik kebijakan dalam negeri maupun luar negeri.
Selain itu, ideologi juga masih merupakan sarana untuk merasionalisasikan dan
melegitimasikan tindakan-tindakan kebijakan yang dilakukan oleh
pemerintah.
Sedangkan menurut Nigro and Nigro (Islamy; 1991, 25),
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses formulasi kebijakan adalah :
a.
Adanya
pengaruh tekanan-tekanan dari luar.
Walaupun ada pendekatan formulasi kebijakan dengan
nama “rationale comprehensive” yang
berarti administrator sebagai pembuat keputusan harus mempertimbangkan
alternatif-alternatif yang akan dipilih berdasarkan penilaian rasional semata,
tetapi proses dan formulasi kebijakan itu tidak dapat dipisahkan dari dunia
nyata, sehingga adanya tekanan dari luar ikut berpengaruh terhadap proses
formulasi kebijakan.
b.
Adanya
pengaruh kebiasaan lama.
Kebiasaan lama organisasi seperti kebiasaan investasi
modal, sumber-sumber dan waktu terhadap kegiatan suatu program tertentu
cenderung akan selalu diikuti, meskipun keputusan-keputusan tersebut telah
dikritik sebagai sesuatu yang salah sehingga perlu dirubah, apalagi jika suatu
kebijakan yang telah ada dipandang memuaskan.
c.
Adanya
pengaruh sifat-sifat pribadi.
Berbagai macam keputusan yang dibuat oleh pembuat
keputusan banyak dipengaruhi oleh sifat-sifat pribadinya, seperti dalam proses
penerimaan atau pengangkatan pegawai baru, seringkali faktor sifat-sifat
pribadi pembuat keputusan berperan besar sekali.
d.
Adanya
pengaruh dari kelompok luar.
Lingkungan sosial dari para pembuat keputusan juga
sangat berpengaruh, bahkan sering pula pembuatan keputusan dilakukan dengan
mempertimbangkan pengalaman dari orang lain yang sebelumnya berada diluar
proses formulasi kebijakan.
e.
Adanya
pengaruh keadaan masa lalu.
Pengalaman latihan dan pengalaman pekerjaan yang
terdahulu berpengaruh pada pembuatan keputusan
atau bahkan orang-orang yang bekerja di kantor pusat sering membuat keputusan
yang tidak sesuai dengan keadaan dilapangan, hal ini disebabkan karena adanya
kekhawatiran bahwa delegasi wewenang dan tanggung jawab kepada orang lain akan
disalahgunakan.
Masalah nilai dalam diskursus analisis kebijakan publik,
merupakan aspek metapolicy karena
menyangkut substansi, perspektif, sikap dan perilaku, baik yang tersembunyi
ataupun yang dinyatakan secara terbuka oleh para actor yang bertanggung jawab
dalam perumusan kebijakan publik. Masalah nilai menjadi relevan untuk dibahas
karena ada satu anggapan yang mengatakan bahwa idealnya pembuat kebijakan itu
seharusnya memiliki kearifan sebagai seorang filsuf raja, yang mampu membuat
serta mengimplementasikan kebijakan-kebijakannya secara adil sehingga dapat
memaksimalkan kesejahteraan umum tanpa melanggar kebebasan pribadi. Meskipun
demikian, realita menunjukkan bahwa kebanyakan keputusan-keputusan kebijakan
tidak mampu memaksimasi ketiga nilai tersebut di atas. Juga, tidak ada bukti
pendukung yang cukup meyakinkan bahwa nilai yang satu lebih penting dari yang
lainnya. Oleh karena itu, maka keputusan-keputusan kebijakan mau tidak mau
haruslah memperhitungkan multi-nilai (multiple
values). Kesadaran akan pentingnya multiple
values itu dilandasi oleh pemikiran “ethical
pluralism”, yang dalam teori pengambilan keputusan sering disebut dengan
istilah “multi objective decision making”.
Sumber : http://kebijakanpublik12.blogspot.co.id/2012/06/formulasi-kebijakan.html
Tidak ada komentar :
Posting Komentar